Musik sebagai sesuatu yang sangat akrab
ditelinga orang dizaman sekarang, banyak tidak disadari ternyata memiliki
pengaruh yang cukup besar dimasyarakat, bahkan musik juga punya andil besar
dalam membentuk kepribadian seseorang juga masyarakat. musik bukan hanya kental
mengiringi acara-acara sosial tapi sudah masuk ke ranah pendidikan, terapi
kesehatan, seremonial religi dan lain-lain. Bagi yang anti musik, saat sehari
telinga mereka selamat darinya tentu dirasa sebagai kenyamanan hidup yang luar
biasa, kebalikan dari para pecandu musik yang sampai-sampai mereka mengatakan
musik adalah kehidupan. Berbicara tentang fiqh prioritas tentu pembahsan hukum
musik akan masuk didalamnya, apabila dilihat dari sisi seringnya setiap muslim
mendengarnya baik disengaja maupun tidak serta hampir-hampir dimana kita berada
akan menemukan musik. Berikut kami kumpulkan pendapat-pendapat ulama-ulama
madzhab yang mana pendapat mereka bisa dijadikan pendapat yang mewakili
madzhabnya.
1. Madzhab Hanifiyah 5 September 699 M - 14 Juni 767 M (Bagdad - Irak)
Mayoritas
ulama hanafiyah mengharamkan semua alat musik, baik alat musik petik, alat
musik pukul , dan dibolehkan rebana serta genderang perang. [Hukmul Mausiqi Fil Islam, Sima Ratib ‘Adnan
Abu Rumuz].
Dalam kitab al ikhtiyar lita’lill mukhtar
disebutkan mendengarkan musik adalah haram, baik alat musik pukul dengan stik
ataupun dengan tangan juga rebana, seruling dan lainnya, jika mendengar dengan
tidak disengaja maka itu termasuk yang dimaafkan tetapi wajib berusaha tidak
mendengarkannya karena Rasulullah menutup telinganya dengan jari pada saat
mendengar suara seruling. [sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud 4925 dan Baihaqi 10/222 dengan sanad hasan dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma].
Abu
Yusuf ditanya: Apakah dimakruhkannya rebana yang dimainkan kaum wanita untuk
anak-anak diluar acara pesta bukan kefasikan? Beliau menjawab: Tidak (itu
kefasikan). [Al Bahrur Raiq Syarh kanzud Daqoiq Juz 8/23 Darul Ma’rifah,
Bairut-CD Maktabatul Fiqh Wa Ushulihi]. Imam As Sarkhasi berkata: Tidak
dibolehkan menyewa sedikitpun dari alat-alat musik baik nuh, seruling, gendang
dan alat musik lain karena itu kemaksiatan, maka sewa menyewanya adalah bathil.
[Al Mabshuth juz 2/38, Syamsuddin, Darul Ma’rifah, Bairut 1409 H]. Dalam
Hasyiyah Ibni Abidin mengatakan: “Memetik senar alat musik ,memainkan rebab,
barbath, rebab ,qonun, meniup seruling, simbal, terompet adalah dibenci karena
menyerupai orang kafir.” [Hasyiah raddil mukhtar ‘alad daril Mukhtar, Muhammad
Amin , Darul fikri, bairut, cet 2, 1386 H].
2. Madzhab Malikiyah 711 M - 795 M (Madinah – Arab Saudi)
Dalam madzhab maliki ada beberapa pendapat
dalam menghukumi alat musik, akan tetapi mayoritas mengharamkan semua alat
musik petik, dan alat musik tiup, dibolehkan rebana dan genderang. Kecuali
ibnul Arabi menghalalkan semua alat musik. Imam Malik saat ditanya tentang
gendang dan seruling yang dimainkan disuatu majelis beliau menjawab: “Saya
berpendapat untuk meninggalkan majelis tersebut.” [Muhammad Al Qurthubiy fi Al
Bayan wa At Tahshil wa Asy Syarh wa At Taujih Wa Ta’lil Fi Masail Al
Mustakhrajah minal Asmi’ah Al Ma’rufah bi ‘utabiyah, Darul ‘Arab Al Islamiy Cet
2, 1408 H]. Imam Al Qurthubiy berkata: “Adapun yang dibuat-buat oleh
orang-orang sufi sekarang dengan menambah ibadah dengan mendengar musik dan
seruling, rebana, kecapi, gitar maka itu haram adapun klarinet/seruling buluh
diragukan dan rebana dibolehkan. Adapun bedug diacara walimah dibolehkan
sebagaimana dibolehkannya rebana begitu juga yang ada dalam acara walimah yang
tidak ada unsur kata-kata kotor.” [Al Jami’ Liahkam Al Qur’an].
3. Madzhab Hanabilah/Hambali 780 M - 855 M (Bagdad - Irak)
Dalam
kitab Al Mughni alat musik di bagi menjadi tiga hukum [Al Mughni wa Syarhul
Kabir ‘ala matnil Muqni’ fi fiqhil Imam Ahmad Juz 12/41-42, Darul Fikr, Bairut,
1414 H], yaitu: Haram: Alat musik
petik, seruling, dan klarinet, alat musik gambus, rebab, gitar, kecapi, dan
yang sejenisnya
- Mubah: Rebana bagi kaum wanita
- Makruh, Rebana bagi laki-laki karena itu dibolehkannya untuk kaum wanita, dan kaum banci. Bedug jika tidak dimainkan bareng dengan sesuatu yang haram atau makruh, misalnya diiringi, tepuk tangan, nyanyian ataupun tarian. Jika tidak dimainkan dengan itu semua maka tidak makruh karena sebenarnya tidak termasuk alat musik, terlebih jika tidak dimainkan. Bedug juga kalau dimainkan sendiri berbeda dengan alat musik.
Ibnu
Taimiyah berkata: “Adapun hiburan dan senda gurau yang ada didalamnya suara
seruling, rebana, mushalshal maka empat imam mengharamkannya.” [Majmu’ Fatawa
ibn Taimiyah Jam’u wa tartib Abdurrahman bin Muahammad bin Qosim An Najdi Juz
11/535].
4. Madzhab Syafi’iyah 767 M - 20 Januari 820 M (Fustat - Mesir)
Dalam madzhab Syafi’iyah terdapat beberapa
pendapat juga, yang menjadi kesepakatan ulama madzhabnya adalah pengharaman
alat musik tiup, alat musik petik, adapun alat musik pukul ada yang dibolehkan
yaitu rebana dan genderang perang, akan tetapi genta diharamkan. [Hukmul
Mausiqi Fil Islam, Sima Ratib ‘Adnan Abu Rumuz].
Ada
seorang ulama syafi’iyah yang membolehkan seluruh alat musik yaitu Ibn Al
Qisraniy. Imam Al Ghazali juga
mengaharamkan alat musik petik, alat musik tiup dan gendang serta membolehkan
selainnya [Hukmul Mausiqi Fil Islam, Sima Ratib ‘Adnan Abu Rumuz]. Dalam kitab
Al Muhadzdzab karya Imam An Nawawi: Diharamkan memainkan alat-alat hiburan
walaupun tanpa nyanyiannya seperti alat musik gambus, rebab, al
mutriqah-sejenis alat musik pukul-, gendang, dan seruling. Dibolehkan memainkan
rebana dalam walimah atau acara khitanan tetapi tidak boleh untuk selain acara
keduanya, dimakruhkan batang-batang kayu yang dimainkan untuk hiburan nyanyian,
tidak boleh dimainkan terpisah sendiri karena akan berirama maka hukumnya sama
dengan hukum nyanyian [Disebutkan oleh ahmad bin Muahammad Bathal dalam An
Nadhmul Musta’dzab fi Syarh Gharibil Muhadzdzab jus 3/442, Darul Kutub Al
‘Ilmiyah, Bairut, cet 1, 1416].
5. Madzhab ibnu Hazm Adh Dhahiriy 7 November 994 M - 15 Agustus 1064 (Niebla – Spanyol)
Ibn
Hazm berpendapat bahwa semua alat musik tidak haram karena dalil yang
menyatakan keharamannya semua lemah, bahkan sebagian ada yang palsu, maka semua
itu dikembalikan kehukum asalnya yaitu mubah/boleh [lihat Al Muhalla].
Munaqasyah
Dalil
ulama-ulama yang mengharamkan alat musik:
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ
يَشْتَرِي لَهْوَ
الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ
عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ بِغَيْرِ
عِلْمٍ
Dan
di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah (QS. Luqman: 6).
Ibnul
Arabi berkata لَهْوَ الْحَدِيثِ
yaitu: “Seperti gendang”
Hasan
Al Bashri berkata لَهْوَ الْحَدِيثِ yaitu: “Alat musik dan nyanyian.”
Mujahid
berkata لَهْوَ الْحَدِيثِ
yaitu:“Gendang.”
Dari
penafsiran inilah mayoritas ulama empat madzhab mengaharamkan alat musik.
Sesungguhnya berdalil haramnya musik dengan ayat ini benar adanya, karena
realitanya juga sudah membuktikan yaitu mengantarkan pada
pelanggaran-pelanggaran syariat baik bercampur baurnya antara laki-laki dan
perempuan, berpengaruh besar pada hati orang yang memainkan dan mendengarkan,
menjadikan lalai dari mengingat Allah Subhanahuwata’ala, maka musik termasuk
sesuatu yang sia-sia dan buruk sebagaimana juga penafsiran para ulama dengan
ayat ini.
1.
Ibnu Hazm menolak
pendapat ini dengan tiga alasan:
2.
Itu semua adalah
pendapat manusia jadi tidak boleh jadi dalil dalam agama
3.
Terdapat
penafsiran yang berbeda-beda baik dikalangan sahabat ataupun tabi’in
Sesungguhnya
keterangan ayat itu sendiri membatalkan hujjah mereka, karena di dalam ayat
tersebut terdapat sifat orang berbuat demikian maka kafir tanpa khilaf, yakni
apabila menjadikan jalan Allah sebagai pelecehan. Ibnu Hazm mengatakan,
"Seandainya ada seseorang yang mempergunakan Al Qur’an untuk menyesatkan
manusia dari jalan Allah dan menjadikannya sebagai ejekan, maka ia kafir, maka
ini yang dicela oleh Allah Subhanahuwata'ala dan Allah sama sekali tidak
mencela orang mempergunakan perkataan yang main-main untuk permainan dan
menghibur diri, bukan untuk menyesatkan manusia dari jalanNya. Maka gugurlah
hujjah mereka. Demikian juga sebaliknya, orang yang keasyikan membaca Al Qur'an
dan hadits atau ngobrol atau kesibukan dengan lagu-lagu dan lainnya sehingga
melalaikan shalat, maka dia fasik, dan bermaksiat kepada Allah. Dan barangsiapa
yang tidak menyia-nyiakan sedikit pun dari kewajiban-kewajiban itu karena
melakukan apa-apa yang telah kami sebutkan, maka ia seorang yang muhsin
(berbuat kebajikan)" (Al Muhalla: 9/60)
عَنْ
عَبْد الرَّحْمَن
بْن غَنْم
الْأَشْعَرِيّ قَالَ
حَدَّثَنِي أَبُو
عَامِر أَوْ
أَبُو مَالِك
الْأَشْعَرِيّ وَاَللَّه
مَا كَذَبَنِي
سَمِعَ النَّبِيّ
صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُول " لَيَكُونَنّ
مِنْ أُمَّتِي
أَقْوَام يَسْتَحِلُّونَ
الْحِرَ وَالْحَرِير
وَالْخَمْر وَالْمَعَازِف.
Dari Abdurrahman bin Ghanm mengatakan,
telah berkata padaku Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari dari Rasulullah
Shallallahu’alaihi was sallam beliau bersabda : “Sungguh akan ada di kalangan
umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr, dan alat-alat
musik .” (HR. Bukhari 10/51/5590-al Fath)
Hadist
ini meskipun ada di dalam shahih Bukhari, tetapi ia termasuk hadits
"Mu'allaq," bukan termasuk hadits yang sanadnya bersambung, selain
hadits ini mu 'allaq, para ulama mengatakan bahwa sanad dan matannya tidak
selamat dari perselisihan. Al Hafidz Ibnu Hajar berusaha untuk menyambung
hadits ini, dan beliau berhasil untuk menyambung dari sembilan sanad, tetapi
semuanya berkisar pada satu perawi yang dibicarakan oleh sejumlah ulama' ahli.
Satu perawi itu adalah "Hisyam Ibnu 'Ammar," perawi ini meskipun
sebagai Khatib dan Muhaddits di Damaskus yang paling alim, bahkan Ibnu Ma'in
dan Al 'Ajli mengatakan tsiqoh, tetapi Abu Dawud mengatakan, "Dia
meriwayatkan empat ratus hadits yang tidak ada sandarannya."
Kalau
seandainya kita katakan bahwa yang dimaksud adalah alat-alat musik, maka
redaksi hadits yang mu'allaq di dalam Shahih Al Bukhari itu tidak jelas dalam
mengartikan haramnya "Al Ma'azif." Karena ungkapan yastahilluna
(menghalalkan) itu memiliki dua makna, yaitu meyakini bahwa itu halal atau itu
sebagai majaz tentang memperlonggar dalam mempergunakan itu semua, karena
seandainya itu adalah arti yang sebenarnya maka itu kufur, karena menghalalkan
yang haram secara pasti seperti minuman keras, zina itu kufur secara ijma'.
Seandainya kita sepakati itu haram semua, maka apakah itu berarti pengharaman
terhadap seluruh apa yang disebutkan di dalam hadits itu, atau masing-masing
dihukumi sendiri-sendiri. Maka yang pertama itulah yang rajih, karena pada
kenyataannya hadits ini menjelaskan perilaku sekelompok manusia yang tenggelam
dalam kemewahan, dan minuman keras . Mereka yang hidup di antara khamr dan
wanita, permainan dan lagu-lagu, zina serta sutera.
Al
Qadhi Abu Bakar Ibnul 'Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Ahkam, tidak benar
dalam pengharaman sedikit pun. Demikian juga dikatakan oleh Ibnu An Nahwi di
dalam kitab "Al 'Umdah." Ibnu Thahir dalam kitabnya "As-Simaa'
" mengatakan: "Tidak benar satu huruf pun dari hadist-hadist itu.
Ibnu Hazm berkata, "Tidak benar sedikit pun dalam bab ini, dan setiap
riwayat tentang masalah itu maudhu' (palsu). Demi Allah, Seandainya seluruhnya
atau salah satu dari riwayat itu disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi
was sallam dari jalan orang-orang yang tsiqah pasti kita tidak akan ragu untuk
mengambilnya."
Kesimpulan:
Bahwa nash-nash yang dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan haramnya alat
musik itu mungkin sharih/jelas, tetapi tidak shahih. Atau mungkin shahih tetapi
tidak sharih/jelas, dan tidak ada satu pun hadits yang sampai pada Rasulullah
Shallallahu’alaihi was sallam yang pantas dipakai sebagai dalil untuk
mengharamkan. Dan seluruh hadits-hadits yang mereka pergunakan itu didhai'fkan
oleh golongan Zhahiriyah, Malikiyah, Hanabilah dan Syafi'iyah.
Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman halaman 330
menyatakan bahwa al ma’azif adalah seluruh alat musik atau permainan. Dan ini
tidak diperselisihkan lagi oleh ahli-ahli bahasa. Adz Dzahabi dalam As Siyar
21/158 dan At Tadzkirah 2/1337 memperjelas definisi ini dengan mengatakan bahwa
al ma’azif mencakup seluruh alat musik maupun permainan yang digunakan untuk
mengiringi sebuah lagu atau syair. Contohnya : Seruling, rebab, simpal,
terompet, dan lain-lain. [Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani
halaman 79]. Asy Syaukani mengatakan: “ Dari sisi sanad hadits ini telah
diriwayatkan dalam sunan Abu daud dari Abu ‘Amir dan Abu Malik, dalam riwayat
Ibnu Hibban juga diriwayatkan oleh Abu ‘Amir dan Abu Malik dan dijelaskan bahwa
itu dari riwayat keduanya. Jadi tidak ada kontradiksi.”
Syaikh
Al Bani setelah meneliti hadits tersebut berkata:” Singkat kata dalam hadits
ini yang menjadi pokok pembicaraan sebenarnya adalah Abdurrahman bin Ghanm, dia
adalah tsiqah ittifaq (bisa dipercaya menurut ahli hadits) maka barang siapa
menuduh hadits ini lemah maka dia munkar dan durhaka.” Lafadz tersebut
menunjukan atas pengharaman menggunakan setiap apa yang dimaksudkan oleh nama
(dalam hadits) itu secara jelas dan secara hakikat, yaitu untuk semua makna
yang disebutkan dalam nash tersebut sebagaimana dinyatakan para pakar bahasa,
dan bukan dari sisi bahwa nash itu memungkinkan dimaknai dengan beberapa makna
karena redaksi lafadz tidak dimaksudkan untuk masing-masing dengan pembatasan,
bahkan dimaksudkan untuk semua. Menurut pendapat yang kuat yaitu bolehnya
memaknai setiap yang bisa dimaknai oleh lafdz selama tidak terjadi kontradiksi,
sebagaimana ditetapkan dalam kaidah.
Sesungguhnya
ancaman bagi yang berpendapat pengharaman baju sutra itu disebutkan secara
maksud sebenarnya dari lafadz itu adapun yang memahami secara majas maka hukum
asalnya dikembalikan dulu kepada makna hakikatnya (selama itu bisa) tidak
dtitafsirkan secara majasi, begitu juga haramnya alat musik. Kesimpulan:
Cukuplah bagi kami satu hadits yang shahih sebagai dalil untuk menghukumi
sesuatu, sebagaimana hadits diatas sebagai dalil akan haramnya alat-alat musik.
Pembaca
yang dirahmati Allah Subhanahuwata’ala, perbedaan yang sangat mendasar diantara
ulama yang memandang haramnya alat musik dan ulama yang membolehkan adalah
tentang keshahihan hadits-hadits yang menghukumi alat musik, tentu kita
berkeyakinan bahwa semua ulama dan kita pasti sepakat jika ada satu hadits saja
yang shahih dalam menghukumi sesuatu maka itu sudah menjadi hujah yang mengikat
seluruh umat. Artikel ini bisa dikatakan sekedar prolog, untuk lebih memahami
sekasama silahkan merujuk ke kitab-kitab para ulama. Akan lebih baik jika kita
bisa membaca dua pendapat tersebut sehingga akan lebih memberikan ketengan pada
kita. Wallahu a’lam.