Jumat, 16 September 2016 0 Komentar

DIPERBOLEHKAN MUSIK


Musik sebagai sesuatu yang sangat akrab ditelinga orang dizaman sekarang, banyak tidak disadari ternyata memiliki pengaruh yang cukup besar dimasyarakat, bahkan musik juga punya andil besar dalam membentuk kepribadian seseorang juga masyarakat. musik bukan hanya kental mengiringi acara-acara sosial tapi sudah masuk ke ranah pendidikan, terapi kesehatan, seremonial religi dan lain-lain. Bagi yang anti musik, saat sehari telinga mereka selamat darinya tentu dirasa sebagai kenyamanan hidup yang luar biasa, kebalikan dari para pecandu musik yang sampai-sampai mereka mengatakan musik adalah kehidupan. Berbicara tentang fiqh prioritas tentu pembahsan hukum musik akan masuk didalamnya, apabila dilihat dari sisi seringnya setiap muslim mendengarnya baik disengaja maupun tidak serta hampir-hampir dimana kita berada akan menemukan musik. Berikut kami kumpulkan pendapat-pendapat ulama-ulama madzhab yang mana pendapat mereka bisa dijadikan pendapat yang mewakili madzhabnya.

1. Madzhab Hanifiyah 5 September 699 M - 14 Juni 767 M (Bagdad - Irak)
Mayoritas ulama hanafiyah mengharamkan semua alat musik, baik alat musik petik, alat musik pukul , dan dibolehkan rebana serta genderang perang. [Hukmul Mausiqi Fil Islam, Sima Ratib ‘Adnan Abu Rumuz].
Dalam kitab al ikhtiyar lita’lill mukhtar disebutkan mendengarkan musik adalah haram, baik alat musik pukul dengan stik ataupun dengan tangan juga rebana, seruling dan lainnya, jika mendengar dengan tidak disengaja maka itu termasuk yang dimaafkan tetapi wajib berusaha tidak mendengarkannya karena Rasulullah menutup telinganya dengan jari pada saat mendengar suara seruling. [sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud 4925 dan Baihaqi 10/222 dengan sanad hasan dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma].
Abu Yusuf ditanya: Apakah dimakruhkannya rebana yang dimainkan kaum wanita untuk anak-anak diluar acara pesta bukan kefasikan? Beliau menjawab: Tidak (itu kefasikan). [Al Bahrur Raiq Syarh kanzud Daqoiq Juz 8/23 Darul Ma’rifah, Bairut-CD Maktabatul Fiqh Wa Ushulihi]. Imam As Sarkhasi berkata: Tidak dibolehkan menyewa sedikitpun dari alat-alat musik baik nuh, seruling, gendang dan alat musik lain karena itu kemaksiatan, maka sewa menyewanya adalah bathil. [Al Mabshuth juz 2/38, Syamsuddin, Darul Ma’rifah, Bairut 1409 H]. Dalam Hasyiyah Ibni Abidin mengatakan: “Memetik senar alat musik ,memainkan rebab, barbath, rebab ,qonun, meniup seruling, simbal, terompet adalah dibenci karena menyerupai orang kafir.” [Hasyiah raddil mukhtar ‘alad daril Mukhtar, Muhammad Amin , Darul fikri, bairut, cet 2, 1386 H].

2. Madzhab Malikiyah 711 M - 795 M (Madinah – Arab Saudi)
Dalam madzhab maliki ada beberapa pendapat dalam menghukumi alat musik, akan tetapi mayoritas mengharamkan semua alat musik petik, dan alat musik tiup, dibolehkan rebana dan genderang. Kecuali ibnul Arabi menghalalkan semua alat musik. Imam Malik saat ditanya tentang gendang dan seruling yang dimainkan disuatu majelis beliau menjawab: “Saya berpendapat untuk meninggalkan majelis tersebut.” [Muhammad Al Qurthubiy fi Al Bayan wa At Tahshil wa Asy Syarh wa At Taujih Wa Ta’lil Fi Masail Al Mustakhrajah minal Asmi’ah Al Ma’rufah bi ‘utabiyah, Darul ‘Arab Al Islamiy Cet 2, 1408 H]. Imam Al Qurthubiy berkata: “Adapun yang dibuat-buat oleh orang-orang sufi sekarang dengan menambah ibadah dengan mendengar musik dan seruling, rebana, kecapi, gitar maka itu haram adapun klarinet/seruling buluh diragukan dan rebana dibolehkan. Adapun bedug diacara walimah dibolehkan sebagaimana dibolehkannya rebana begitu juga yang ada dalam acara walimah yang tidak ada unsur kata-kata kotor.” [Al Jami’ Liahkam Al Qur’an].

3. Madzhab Hanabilah/Hambali 780 M - 855 M (Bagdad - Irak)
          Dalam kitab Al Mughni alat musik di bagi menjadi tiga hukum [Al Mughni wa Syarhul Kabir ‘ala matnil Muqni’ fi fiqhil Imam Ahmad Juz 12/41-42, Darul Fikr, Bairut, 1414 H], yaitu:    Haram: Alat musik petik, seruling, dan klarinet, alat musik gambus, rebab, gitar, kecapi, dan yang sejenisnya
  •       Mubah: Rebana bagi kaum wanita
  •    Makruh, Rebana bagi laki-laki karena itu dibolehkannya untuk kaum wanita, dan kaum banci. Bedug jika tidak dimainkan bareng dengan sesuatu yang haram atau makruh, misalnya diiringi, tepuk tangan, nyanyian ataupun tarian. Jika tidak dimainkan dengan itu semua maka tidak makruh karena sebenarnya tidak termasuk alat musik, terlebih jika tidak dimainkan. Bedug juga kalau dimainkan sendiri berbeda dengan alat musik.
Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun hiburan dan senda gurau yang ada didalamnya suara seruling, rebana, mushalshal maka empat imam mengharamkannya.” [Majmu’ Fatawa ibn Taimiyah Jam’u wa tartib Abdurrahman bin Muahammad bin Qosim An Najdi Juz 11/535].

4. Madzhab Syafi’iyah 767 M - 20 Januari 820 M (Fustat - Mesir)
Dalam madzhab Syafi’iyah terdapat beberapa pendapat juga, yang menjadi kesepakatan ulama madzhabnya adalah pengharaman alat musik tiup, alat musik petik, adapun alat musik pukul ada yang dibolehkan yaitu rebana dan genderang perang, akan tetapi genta diharamkan. [Hukmul Mausiqi Fil Islam, Sima Ratib ‘Adnan Abu Rumuz].
Ada seorang ulama syafi’iyah yang membolehkan seluruh alat musik yaitu Ibn Al Qisraniy. Imam Al Ghazali juga mengaharamkan alat musik petik, alat musik tiup dan gendang serta membolehkan selainnya [Hukmul Mausiqi Fil Islam, Sima Ratib ‘Adnan Abu Rumuz]. Dalam kitab Al Muhadzdzab karya Imam An Nawawi: Diharamkan memainkan alat-alat hiburan walaupun tanpa nyanyiannya seperti alat musik gambus, rebab, al mutriqah-sejenis alat musik pukul-, gendang, dan seruling. Dibolehkan memainkan rebana dalam walimah atau acara khitanan tetapi tidak boleh untuk selain acara keduanya, dimakruhkan batang-batang kayu yang dimainkan untuk hiburan nyanyian, tidak boleh dimainkan terpisah sendiri karena akan berirama maka hukumnya sama dengan hukum nyanyian [Disebutkan oleh ahmad bin Muahammad Bathal dalam An Nadhmul Musta’dzab fi Syarh Gharibil Muhadzdzab jus 3/442, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut, cet 1, 1416].

5. Madzhab ibnu Hazm Adh Dhahiriy 7 November 994 M - 15 Agustus 1064 (Niebla – Spanyol)
        Ibn Hazm berpendapat bahwa semua alat musik tidak haram karena dalil yang menyatakan keharamannya semua lemah, bahkan sebagian ada yang palsu, maka semua itu dikembalikan kehukum asalnya yaitu mubah/boleh [lihat Al Muhalla].
Munaqasyah
Dalil ulama-ulama yang mengharamkan alat musik:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah (QS. Luqman: 6).
Ibnul Arabi berkata لَهْوَ الْحَدِيثِ yaitu: “Seperti gendang”
Hasan Al Bashri berkata لَهْوَ الْحَدِيثِ yaitu: “Alat musik dan nyanyian.”
Mujahid berkata لَهْوَ الْحَدِيثِ yaitu:“Gendang.”
Dari penafsiran inilah mayoritas ulama empat madzhab mengaharamkan alat musik. Sesungguhnya berdalil haramnya musik dengan ayat ini benar adanya, karena realitanya juga sudah membuktikan yaitu mengantarkan pada pelanggaran-pelanggaran syariat baik bercampur baurnya antara laki-laki dan perempuan, berpengaruh besar pada hati orang yang memainkan dan mendengarkan, menjadikan lalai dari mengingat Allah Subhanahuwata’ala, maka musik termasuk sesuatu yang sia-sia dan buruk sebagaimana juga penafsiran para ulama dengan ayat ini.
1.      Ibnu Hazm menolak pendapat ini dengan tiga alasan:
2.      Itu semua adalah pendapat manusia jadi tidak boleh jadi dalil dalam agama
3.      Terdapat penafsiran yang berbeda-beda baik dikalangan sahabat ataupun tabi’in
Sesungguhnya keterangan ayat itu sendiri membatalkan hujjah mereka, karena di dalam ayat tersebut terdapat sifat orang berbuat demikian maka kafir tanpa khilaf, yakni apabila menjadikan jalan Allah sebagai pelecehan. Ibnu Hazm mengatakan, "Seandainya ada seseorang yang mempergunakan Al Qur’an untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya sebagai ejekan, maka ia kafir, maka ini yang dicela oleh Allah Subhanahuwata'ala dan Allah sama sekali tidak mencela orang mempergunakan perkataan yang main-main untuk permainan dan menghibur diri, bukan untuk menyesatkan manusia dari jalanNya. Maka gugurlah hujjah mereka. Demikian juga sebaliknya, orang yang keasyikan membaca Al Qur'an dan hadits atau ngobrol atau kesibukan dengan lagu-lagu dan lainnya sehingga melalaikan shalat, maka dia fasik, dan bermaksiat kepada Allah. Dan barangsiapa yang tidak menyia-nyiakan sedikit pun dari kewajiban-kewajiban itu karena melakukan apa-apa yang telah kami sebutkan, maka ia seorang yang muhsin (berbuat kebajikan)" (Al Muhalla: 9/60)

عَنْ عَبْد الرَّحْمَن بْن غَنْم الْأَشْعَرِيّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو عَامِر أَوْ أَبُو مَالِك الْأَشْعَرِيّ وَاَللَّه مَا كَذَبَنِي سَمِعَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُول " لَيَكُونَنّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَام يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِير وَالْخَمْر وَالْمَعَازِف.
Dari Abdurrahman bin Ghanm mengatakan, telah berkata padaku Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari dari Rasulullah Shallallahu’alaihi was sallam beliau bersabda : “Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik .” (HR. Bukhari 10/51/5590-al Fath)

Hadist ini meskipun ada di dalam shahih Bukhari, tetapi ia termasuk hadits "Mu'allaq," bukan termasuk hadits yang sanadnya bersambung, selain hadits ini mu 'allaq, para ulama mengatakan bahwa sanad dan matannya tidak selamat dari perselisihan. Al Hafidz Ibnu Hajar berusaha untuk menyambung hadits ini, dan beliau berhasil untuk menyambung dari sembilan sanad, tetapi semuanya berkisar pada satu perawi yang dibicarakan oleh sejumlah ulama' ahli. Satu perawi itu adalah "Hisyam Ibnu 'Ammar," perawi ini meskipun sebagai Khatib dan Muhaddits di Damaskus yang paling alim, bahkan Ibnu Ma'in dan Al 'Ajli mengatakan tsiqoh, tetapi Abu Dawud mengatakan, "Dia meriwayatkan empat ratus hadits yang tidak ada sandarannya."

Kalau seandainya kita katakan bahwa yang dimaksud adalah alat-alat musik, maka redaksi hadits yang mu'allaq di dalam Shahih Al Bukhari itu tidak jelas dalam mengartikan haramnya "Al Ma'azif." Karena ungkapan yastahilluna (menghalalkan) itu memiliki dua makna, yaitu meyakini bahwa itu halal atau itu sebagai majaz tentang memperlonggar dalam mempergunakan itu semua, karena seandainya itu adalah arti yang sebenarnya maka itu kufur, karena menghalalkan yang haram secara pasti seperti minuman keras, zina itu kufur secara ijma'. Seandainya kita sepakati itu haram semua, maka apakah itu berarti pengharaman terhadap seluruh apa yang disebutkan di dalam hadits itu, atau masing-masing dihukumi sendiri-sendiri. Maka yang pertama itulah yang rajih, karena pada kenyataannya hadits ini menjelaskan perilaku sekelompok manusia yang tenggelam dalam kemewahan, dan minuman keras . Mereka yang hidup di antara khamr dan wanita, permainan dan lagu-lagu, zina serta sutera.

Al Qadhi Abu Bakar Ibnul 'Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Ahkam, tidak benar dalam pengharaman sedikit pun. Demikian juga dikatakan oleh Ibnu An Nahwi di dalam kitab "Al 'Umdah." Ibnu Thahir dalam kitabnya "As-Simaa' " mengatakan: "Tidak benar satu huruf pun dari hadist-hadist itu. Ibnu Hazm berkata, "Tidak benar sedikit pun dalam bab ini, dan setiap riwayat tentang masalah itu maudhu' (palsu). Demi Allah, Seandainya seluruhnya atau salah satu dari riwayat itu disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi was sallam dari jalan orang-orang yang tsiqah pasti kita tidak akan ragu untuk mengambilnya."

Kesimpulan: Bahwa nash-nash yang dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan haramnya alat musik itu mungkin sharih/jelas, tetapi tidak shahih. Atau mungkin shahih tetapi tidak sharih/jelas, dan tidak ada satu pun hadits yang sampai pada Rasulullah Shallallahu’alaihi was sallam yang pantas dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan. Dan seluruh hadits-hadits yang mereka pergunakan itu didhai'fkan oleh golongan Zhahiriyah, Malikiyah, Hanabilah dan Syafi'iyah.
Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman halaman 330 menyatakan bahwa al ma’azif adalah seluruh alat musik atau permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi oleh ahli-ahli bahasa. Adz Dzahabi dalam As Siyar 21/158 dan At Tadzkirah 2/1337 memperjelas definisi ini dengan mengatakan bahwa al ma’azif mencakup seluruh alat musik maupun permainan yang digunakan untuk mengiringi sebuah lagu atau syair. Contohnya : Seruling, rebab, simpal, terompet, dan lain-lain. [Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 79]. Asy Syaukani mengatakan: “ Dari sisi sanad hadits ini telah diriwayatkan dalam sunan Abu daud dari Abu ‘Amir dan Abu Malik, dalam riwayat Ibnu Hibban juga diriwayatkan oleh Abu ‘Amir dan Abu Malik dan dijelaskan bahwa itu dari riwayat keduanya. Jadi tidak ada kontradiksi.”
Syaikh Al Bani setelah meneliti hadits tersebut berkata:” Singkat kata dalam hadits ini yang menjadi pokok pembicaraan sebenarnya adalah Abdurrahman bin Ghanm, dia adalah tsiqah ittifaq (bisa dipercaya menurut ahli hadits) maka barang siapa menuduh hadits ini lemah maka dia munkar dan durhaka.” Lafadz tersebut menunjukan atas pengharaman menggunakan setiap apa yang dimaksudkan oleh nama (dalam hadits) itu secara jelas dan secara hakikat, yaitu untuk semua makna yang disebutkan dalam nash tersebut sebagaimana dinyatakan para pakar bahasa, dan bukan dari sisi bahwa nash itu memungkinkan dimaknai dengan beberapa makna karena redaksi lafadz tidak dimaksudkan untuk masing-masing dengan pembatasan, bahkan dimaksudkan untuk semua. Menurut pendapat yang kuat yaitu bolehnya memaknai setiap yang bisa dimaknai oleh lafdz selama tidak terjadi kontradiksi, sebagaimana ditetapkan dalam kaidah.
Sesungguhnya ancaman bagi yang berpendapat pengharaman baju sutra itu disebutkan secara maksud sebenarnya dari lafadz itu adapun yang memahami secara majas maka hukum asalnya dikembalikan dulu kepada makna hakikatnya (selama itu bisa) tidak dtitafsirkan secara majasi, begitu juga haramnya alat musik. Kesimpulan: Cukuplah bagi kami satu hadits yang shahih sebagai dalil untuk menghukumi sesuatu, sebagaimana hadits diatas sebagai dalil akan haramnya alat-alat musik.

Pembaca yang dirahmati Allah Subhanahuwata’ala, perbedaan yang sangat mendasar diantara ulama yang memandang haramnya alat musik dan ulama yang membolehkan adalah tentang keshahihan hadits-hadits yang menghukumi alat musik, tentu kita berkeyakinan bahwa semua ulama dan kita pasti sepakat jika ada satu hadits saja yang shahih dalam menghukumi sesuatu maka itu sudah menjadi hujah yang mengikat seluruh umat. Artikel ini bisa dikatakan sekedar prolog, untuk lebih memahami sekasama silahkan merujuk ke kitab-kitab para ulama. Akan lebih baik jika kita bisa membaca dua pendapat tersebut sehingga akan lebih memberikan ketengan pada kita. Wallahu a’lam.
 
;